Almamater Bukan Fokus Utama

 



PRAKATA 

Dengan Nama Allah, Tuhan sekalian alam. Salam sejahtera atas mereka yang teguh dijalan Islam. 

Sahabat beradab sekalian yang kami banggakan, kami hadirkan sedikit pengetahuan dalam bentuk tulisan, semoga bisa bermanfaat bagi dunia dan akhirat kalian. terus semangat memperluas pengetahuan karena itu jalan menuju kebahagiaan.

Almamater Bukan Fokus Utama

Sudah menjadi kesepakatan, bahwa belajar adalah kebutuhan primer setiap yang berakal, karena tanpa ilmu, kehidupan tidak akan tertata. Dalam Islam pun, belajar adalah di antara kewajiban yang harus dipenuhi, mengingat perintah tegas ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan, iqro' bismi robbikal-ladzi kholaq, juga keutamaan-keutamaan yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ.

Tentu, bangsa kita antusias mengimplentasikan hal di atas, terbukti dengan banyaknya kegiatan belajar mengajar baik formal maupun non formal. Dipertegas dengan undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, dan setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan[1]. 

Dan setiap orang mencari lingkungan yang terbaik untuk belajar, contoh kecilnya tercatat lulusan SMU/sederajat yang mendaftar ke universitas Gadjah Mada pada tahun 2020 mencapai 62.507 orang[2]. Hal ini terjadi karena asumsi banyak pelajar, itulah lingkungan belajar yang terbaik bagi mereka.

Dewasa ini, tidak sedikit para pelajar -muslim khususnya- terobsesi pada nama lembaga pendidikan, karena asumsi mereka lembaga itulah yang menjadi faktor utama berhasil tidaknya pembelajaran. Asumsi ini tidak salah sepenuhnya, karena perlu seseorang memilah lingkungan yang terbaik untuknya. Maka sebagian pelajar bebangga dengan almamaternya, ada juga yang insecure karena almamaternya "tidak punya nama". 

Namun, hal ini perlu diluruskan. Sebab konsep belajar dalam Islam adalah kepada siapa kita belajar, bukan dimana kita belajar. Karena belajar itu tidak terpisah dari keteladanan. Ditambah manusia itu cenderung meniru [3], dan tujuan dari belajar adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas inteligensi (ilmu maupun akhlaknya). Dan jika pengajar (guru) akhlaknya buruk maka tujuan pembelajaran pun tidak akan tercapai. Dapat diambil pemahaman, bahwa almamater bukan fokus utama dalam dunia ilmu. 

Dalam literatur-liteatur Islam banyak diketemukan, setelah berusaha meluruskan tujuan, hendaknya para penuntut ilmu mencari guru yang berkompeten dan berakhlak. Ulama-ulama besar juga terlahir dari guru-guru hebat. Dalam keilmuan Islam pun disyaratkan seorang ahli ilmu itu memiliki kompetensi dhobt dan 'adalahDhobt adalah daya kecerdasan atau kapabilitas, adapun 'adalah itu kepribadian yang bertakwa atau kredibelitas. 

Sekali lagi, perlu diingat oleh pelajar muslim khususnya, objek belajar bukan hanya wawasan pengetahuan, justru objek yang urgensial adalah adab, karena dengannya para ulama Islam eksis menjadi orang-orang hebat lagi mulia ditambah keilmuan Islam terjaga. Bahkan ada ungkapan, al-adab qobla al-ilm, beradab sebelum berilmu, hal ini tentunya tidak akan didapat kecuali dengan mulazamah bersama para guru. Pendidikan di negeri kita pun mengusung hal yang hampir serupa; pendidikan karakter. 

Konsep belajar dalam Islam demikian, karena adab dan ilmu ada pada pribadi seseorang, bukan terpaut pada lembaga. Apalagi ketika belajar ilmu agama; ilmu wahyu, sudah sepatutnya seseorang mencari guru yang terbaik, para salaf berwasiat, haadzaa l-ilmu d-diin fandzuruu anman ta'khudzuuna diinakum, ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian[4].

Maka dari itu, ketika hendak belajar; menuntut ilmu dan keberkahannya, setelah meluruskan tujuan, hendaknya yang menjadi fokus pencarian adalah kepada siapa kita belajar, bukan dimana kita belajar. bukan tidak boleh, tetapi jika niat kita lurus menuntut ilmu dan keberkahannya, konsep inilah yang harus diikuti. Salman Al-farisi pernah menuturkan, tempat tidaklah menyucikan seseorang. Namun yang menyucikannya adalah amalannya[5]. Allahu a'lam.[]

Oleh: Sigit Perdiansyah

___

[1] https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2003/20tahun2003uu.htm

[2] https://www.kompas.com/edu/read/2021/02/28/083000671/daftar-kampus-dengan-peminat-terbanyak-di-sbmptn-2020?page=all

[3] https://dosenpsikologi.com/teori-meniru-dalam-psikologi

[4] Tadzkiroh as-Saami wa al-Mutakallim, Imam Badruddin Ibnu Jama'ah

[5] Al-Muwaththa no. 2232 dilansir dari Tarbiyah Sunnah Learning 

Komentar

Postingan Populer